Text
WKRI Wanita Katolik Republik Indonesia : Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut Ke Belakang
Semangat keprihatinan dan belarasa yang dijiwai dan disemangati oleh Ensiklik Rerum Novarum yang dikeluarkan Paus Leo XIII (1891) terhadap kaum perempuan, telah mendasari lahirnya organisasi wanita Katolik yang kemudian bernama Poesara Wanita Katholiek, 26 Juni 1924. Poesara Wanita Katholiek lahir menyusul kelahiran sejumlah organisasi perempuan, baik organisasi independen maupun organisasi yang berhubungan dengan organisasi keagamaan, di tengah berkobarnya semangat nasionalisme di awal abad ke-20.
Adalah R.A. Soelastri, putri Puro Pakualaman Yogyakarta, yang memperoleh pencerahan dari para rohaniwan dan rohaniwati, para pastor dan para suster, serta persentuhannya dengan alumni sekolah Mendut dan Van Lith Muntilan, memiliki kepekaan yang tajam melihat situasi dan kondisi para perempuan sezamannya. Ajaran Kristiani dan seluruh nilai kemanusiaannya yang diterima di Susteran Fransiskanes, Kidul Loji dan pertemuannya dengan para misionaris, telah menggugah hatinya untuk melakukan sesuatu, menghadirkan Gereja secara nyata dalam kehidupan manusia, ke tengah masyarakat.
Kelahiran Poesara Wanita Katholiek—yang kelak menjadi WKRI—tidak bisa dilepaskan dari peran tiga Jesuit, yang pada waktu itu telah dengan berani dan tekun, penuh kebijaksanaan memberikan semangat, penguatan, dan bimbingan serta pencerahan kepada para perempuan dan ibu yang melahirkan organisasi wanita Katolik. Mereka adalah Romo van Lith, SJ dan Romo Martens, SJ dan Romo van Driessche, SJ. Selain itu, tidak bisa dilupakan peran penting para ibu dan gadis alumnae sekolah Mendut beserta para gurunya sebagai peletak dasar semangat pelayanan.
Peziarahan panjang dijalani Poesara Wanita Katholik sampai setelah masa pendudukan Jepang-atas anjuran Romo Kanjeng Alb. Soegijapranata, SJ-organisasi wanita Katolik diberi nama Wanita Katolik Republik Indonesia (1950). Sejak saat itu, organisasi yang sebelumnya bercorak kedaerahan (Jawa) menjelma menjadi organisasi yang benar-benar bercorak nasional.
Dengan corak nasional, berarti tugas, misi, dan kewajibannya pun menjadi bertambah banyak dan berat. Tugas wilayah pelayanannya pun menjadi bertambah luas. Namun, sejak semula sudah menjadi niatan hati untuk menghadirkan Gereja, untuk memberikan pelayanan, untuk menjadi bagian dari karya pewartaan Kabar Gembira apa pun risikonya, maka semuanya dijalani dengan penuh kebahagiaan dan syukur.
Tidak tersedia versi lain